Tujuan panca sembah ,
metirtha, mebija
Definisi
Sembahyang
Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang.
Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu
meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa,
(5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur iman di dalam Agama
Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir termasuk ajaran
sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12).
Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang
berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan
tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan
ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang
berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13).
Di dalam
bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau
“mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu
lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti”
karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa
pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya
mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan
dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman
dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih,
pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna
maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga
kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu.
Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita
haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.
Manfaat
Bersembahyang
Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu manfaat sembahyang
adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap
sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan
bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.
Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga
mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada di dalam diri dan
di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau
berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa
penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang
Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa
Tuhan selalu akan melindungi umatNya.
Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang
karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta benda harus dicari
dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan dapat
menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri
sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain
sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada
semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam
ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk
melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari
alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.
Persiapan
Sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan
batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga, dupa, sikap duduk, pengaturan
nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah ketenangan dan
kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang
(Sujana & Susila, 2002:27-28) adalah sebagai berikut:
1. Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan
mandi.
2. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih
serta tidak mengganggu ketenangan pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra
(waktu, tempat dan keadaan).
3. Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga
diusahakan memakai bungan yang segar, bersih dan harum. Jika dalam
persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga. Menurut
Mangku Gede Darsa, pemangku Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor,
kawangen berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum
kita kepada Hyang Widhi. Beliau juga menambahkan bahwa kawangen juga
menyimbolkan alam bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya
yang segitiga menunjukkan apa yang kita mohon menuju pada diri kita.
4. Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah
kita kepada Hyang Widhi.
5. Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk
sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah
menghadap pelinggih.
6. Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan
tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu padmasana, siddhasana,
sukhasana, dan bajrasana.
7. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah
“cakupang kara kalih”, yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di
depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.
Urutan Sembahyang
Menurut Mangku Linggih, sebelum kita masuk ke areal Pura
hendaknya “melukat” terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita,
sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. Mangku Gede Darsa
menambahkan bahwa umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan
keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus sesuai dengan arah perputaran
waktu yang selalu maju.
Sebelum
melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya melaksanakan Puja
Trisandya. Mangku Darsana memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik
sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik,
mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang mampu kita
bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita
melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar
atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.
Setelah melakukan Puja Trisandya, kita lanjutkan dengan
melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna (Bajrayasa, Arisufhana &
Goda 1981:29) sebagai berikut:
1. Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya
bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
2. Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bungan
dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian
hormat kepada sifat wujudNya dalam segala manifestasiNya dan kepada para Dewa,
serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah.
3. Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan
sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatNya dan mengantarkan
kembali ke alam gaib.
Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan
tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali
diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan
hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal
ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana
& Susila, 2002:31)
Kemudian
mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian
terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang
dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih, yaitu
beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara,
yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung makna menumbuh
kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri umat (Sujana & Susila,
2002:31-32).
Mangku Gede Darsa memberi saran dalam melaksanakan Panca
Kramaning Sembah yang dipimpin oleh Pinandita, hendaknya umat tidak ikut me-mantram.
Hal ini dianalogikan bahwa Pinandita itu seperti supir bus, sedangkan umat
adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan
atau terminal. Jika penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan.
Sehingga, persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain yang
ingin mengadu masalah hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan
tuntunan-Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang
karena menurut Mangku Gede Darsa bahwa mungkin umat itu tidak sedang dalam
masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut, asal tidak mengganggu
konsentrasi umat lain yang sedang sembahyang.
Sesungguhnya begitu banyak makna yang terkandung dalam
persembahyangan, tidak hanya sekedar “nyakupang tangan” dan “ngelungsur”.
Semoga ulasan sederhana mengenai makna dan tata cara persembahyangan umat Hindu
dapat bermanfaat bagi umat seDharma.
MARI BERSEMBAHYANG
Pada
umumnya, sebelum melakukan persembahyangan –baik dengan Puja Trisandya maupun
Panca Sembah– didahului dengan penyucian badan dan sarana persembahyangan.
Urutannya sebagai berikut:
1.
Duduk dengan tenang. Lakukan Pranayama dan
setelah suasananya tenang ucapkan mantram ini:
OM PRASADA STHITI SARIRA SIWA SUCI
NIRMALAYA NAMAH SWAHA
Artinya:
Ya Tuhan, dalam wujud Hyang Siwa, hamba-Mu telah duduk tenang, suci, dan tiada
noda.
2.
Kalau tersedia air bersihkan tangan pakai air. Kalau tidak ada ambil bunga dan gosokkan pada kedua tangan.
Lalu telapak tangan kanan ditengadahkan di atas tangan kiri dan ucapkan
mantram:
OM SUDDHA MAM SWAHA
Artinya:
Ya Tuhan, bersihkanlah tangan hamba (bisa juga pengertiannya untuk membersihkan
tangan kanan).
Lalu,
posisi tangan dibalik. Kini tangan kiri ditengadahkan di atas tangan kanan dan
ucapkan mantram:
OM ATI SUDDHA MAM SWAHA
Artinya:
Ya Tuhan, lebih dibersihkan lagi tangan hamba (bisa juga pengertiannya untuk
membersihkan tangan kiri).
3.
Kalau tersedia air (maksudnya air dari rumah, bukan tirtha), lebih baik
berkumur sambil mengucapkan mantram di dalam hati:
OM ANG WAKTRA PARISUDDMAM SWAHA
atau
lebih pendek:
OM WAKTRA SUDDHAYA NAMAH
Artinya:
Ya, Tuhan sucikanlah mulut hamba.
4.
Jika tersedia dupa, peganglah dupa yang sudah dinyalakan itu dengan sikap
amusti, yakni tangan dicakupkan, kedua
ibujari menjepit pangkal dupa yang ditekan oleh telunjuk tangan kanan, dan
ucapkan mantra:
OM AM DUPA DIPASTRAYA NAMA SWAHA
Artinya:
Ya, Tuhan/Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba sehingga sucilah sudah hamba
seperti sinar-Mu.
5.
Setelah itu lakukanlah puja Trisandya.
Jika memuja sendirian dan tidak hafal seluruh puja yang banyaknya enam bait
itu, ucapkanlah mantram yang pertama saja (Mantram Gayatri) tetapi diulang
sebanyak tiga kali.
Mantram
di bawah ini memakai ejaan sebenarnya, “v” dibaca mendekati “w”. Garis miring
di atas huruf, dibaca lebih panjang. Permulaan mantram Om bisa diucapkan tiga
kali, bisa juga sekali sebagaimana teks di bawah ini:
OM BHUR BHVAH SVAH
TAT SAVITUR VARENYAM BHARGO DEVASYA DHIMAHI DHIYO YO NAH PRACODAYAT |
Tuhan adalah bhur svah. Kita
memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Hyang Widhi, Semoga Ia
berikan semangat pikiran kita.
|
OM NARAYANA EVEDAM SARVAM
YAD BHUTAM YAC CA BHAVYAM NISKALANKO NIRAÑJANO NIRVIKALPO NIRAKHYATAH SUDDO DEVA EKO NARAYANO NA DVITÌYO’STI KASCIT |
Ya Tuhan, Narayana adalah semua
ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari
kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Narayana,
Ia hanya satu tidak ada yang kedua.
|
OM TVAM
SIVAH TVAM MAHADEVAH
ÌSVARAH PARAMESVARAH BRAHMA VISNUSCA RUDRASCA PURUSAH PARIKÌRTITAH |
Ya Tuhan, Engkau dipanggil Siwa,
Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra, dan Purusa.
|
OM PAPO’HAM PAPAKARMAHAM
PAPATMA PAPASAMBHAVAH TRAHI MAM PUNDARIKAKSA SABAHYABHYANTARAH SUCIH |
Ya Tuhan, hamba ini papa,
perbuatan hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah
hamba Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba.
|
OM
KSAMASVA MAM MAHADEVA
SARVAPRANI HITANKARA MAM MOCA SARVA PAPEBYAH PALAYASVA SADA SIVA |
Ya Tuhan, ampunilah hamba
HyangWidhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah
hamba dari segala dosa, lindungilah hamba oh Hyang Widhi.
|
OM KSANTAVYAH KAYIKO DOSAH
KSANTAVYO VACIKO MAMA KSANTAVYO MANASO DOSAH TAT PRAMADAT KSAMASVA MAM |
Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota
badan hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah
hamba dari kelahiran hamba.
|
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM
|
Ya Tuhan, semoga damai, damai,
damai selamanya.
|
Setelah
selesai memuja Trisandya dilanjutkan Panca Sembah. Kalau tidak melakukan
persembahyangan Trisandya (mungkin tadi sudah di rumah) dan langsung memuja
dengan Panca Sembah, maka setelah membaca mantram untuk dupa langsung saja
menyucikan bunga atau kawangen yang akan dipakai muspa.
Ambil
bunga atau kawangen itu diangkat di hadapan dada dan ucapkan mantram ini:
OM
PUSPA DANTA YA NAMAH SWAHA
Artinya:
Ya Tuhan, semoga bunga ini cemerlang dan suci.
Urutan
sembahyang ini sama saja, baik dipimpin oleh pandita atau pemangku, maupun
bersembahyang sendirian. Cuma, jika dipimpin pandita yang sudah melakukan
dwijati, ada kemungkinan mantramnya lebih panjang.
Kalau
hafal bisa diikuti, tetapi kalau tidak hafal sebaiknya lakukan mantram-mantram
pendek sebagai berikut:
1.
Dengan tangan kosong (sembah puyung).
Cakupkan tangan kosong dan pusatkan pikiran dan ucapkan mantram ini:
OM ATMA TATTWATMA SUDDHA MAM
SWAHA
Artinya:
Ya Tuhan, atma atau jiwa dan kebenaran, bersihkanlah hamba.
2.
Sembahyang dengan bunga,
ditujukan kepada Hyang Widhi dalam wujudNya sebagai Hyang Surya atau Siwa Aditya.
Ucapkan mantram:
OM ADITYASYA PARAM JYOTI
RAKTA TEJO NAMO’STUTE
SWETA PANKAJA MADHYASTHA
BHASKARAYA NAMO’STUTE
RAKTA TEJO NAMO’STUTE
SWETA PANKAJA MADHYASTHA
BHASKARAYA NAMO’STUTE
Artinya:
Ya Tuhan, Sinar Hyang Surya Yang Maha Hebat. Engkau bersinar merah, hamba
memuja Engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah teratai putih. Hamba
memuja Engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.
3.
Sembahyang dengan kawangen. Bila
tidak ada, yang dipakai adalah bunga. Sembahyang ini ditujukan kepada
Istadewata pada hari dan tempat persembahyangan itu. Istadewata ini adalah
Dewata yang diinginkan kehadiran-Nya pada waktu memuja.
Istadewata
adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai wujudNya. Jadi mantramnya
bisa berbeda-beda tergantung di mana dan kapan bersembahyang.
Mantram
di bawah ini adalah mantram umum yang biasanya dipakai saat Purnama atau Tilem
atau di Pura Kahyangan Jagat:
OM NAMA DEWA ADHISTHANAYA
SARWA WYAPI WAI SIWAYA
PADMASANA EKA PRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH
SARWA WYAPI WAI SIWAYA
PADMASANA EKA PRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH
Artinya:
Ya Tuhan, kepada dewata yang bersemayam pada tempat yang luhur, kepada Hyang
Siwa yang berada di mana-mana, kepada dewata yang bersemayam pada tempat duduk
bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.
4.
Sembahyang dengan bunga atau kawangen untuk memohon waranugraha. Usai mengucapkan mantram, ada yang memperlakukan bunga itu
langsung sebagai wara-nugraha, jadi tidak “dilentikkan/dipersembahkan” tetapi
dibungakan di kepala (wanita) atau di atas kuping kanan (laki-laki).
Mantramnya
adalah:
OM ANUGRAHA MANOHARAM
DEWA DATTA NUGRAHAKA
ARCANAM SARWA PUJANAM
NAMAH SARWA NUGRAHAKA
DEWA DATTA NUGRAHAKA
ARCANAM SARWA PUJANAM
NAMAH SARWA NUGRAHAKA
DEWA-DEWI MAHASIDDHI
YAJÑANYA NIRMALATMAKA
LAKSMI SIDDHISÇA DIRGHAYUH
NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA
YAJÑANYA NIRMALATMAKA
LAKSMI SIDDHISÇA DIRGHAYUH
NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA
Artinya:
Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian Dewata,
pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah.
Kemahasiddhian pada Dewa dan Dewi berwujud jadnya suci, kebahagiaan,
kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan
rohani dan jasmani.
5.
Sembahyang dengan cakupan tangan kosong,
persis seperti yang pertama. Cuma sekarang ini sebagai penutup. Usai
mengucapkan mantram, tangan berangsur-angsur diturunkan sambil melemaskan badan
dan pikiran. Mantramnya:
OM DEWA SUKSMA PARAMA CINTYAYA NAMA SWAHA.
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM
Artinya:
Ya Tuhan, hamba memuja Engkau Dewata yang tidak terpikirkan, maha tinggi dan
maha gaib. Ya Tuhan, anugerahkan kepada hamba kedamaian, damai, damai, Ya
Tuhan.
Untuk
memuja di Pura atau tempat suci tertentu, kita bisa menggunakan mantram lain
yang disesuaikan dengan tempat dan dalam keadaan bagaimana kita bersembahyang.
Yang diganti adalah mantram sembahyang urutan ketiga dari Panca Sembah, yakni
yang ditujukan kepada Istadewata. Berikut ini contohnya:
Untuk
memuja di Padmasana, Sanggar Tawang, dapat digunakan
salah satu contoh dari dua mantram di bawah ini:
OM, AKASAM NIRMALAM SUNYAM
GURU DEWA BHYOMANTARAM
CIWA NIRWANA WIRYANAM
REKHA OMKARA WIJAYAM
GURU DEWA BHYOMANTARAM
CIWA NIRWANA WIRYANAM
REKHA OMKARA WIJAYAM
Artinya:
YaTuhan, penguasa angkasa raya yang suci dan hening. Guru rohani yang suci
berstana di angkasa raya. Siwa yang agung penguasa nirwana sebagai Omkara yang
senantiasa jaya, hamba memujaMu.
OM NAMA DEWA ADHISTHANAYA
SARVA WYAPI VAI SIWAYA
PADMASANA EKAPRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO’NAMAH
SARVA WYAPI VAI SIWAYA
PADMASANA EKAPRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO’NAMAH
Artinya:
Ya Tuhan, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi, kepada Siwa yang
sesungguhnyalah berada di mana-mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat
duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvarì, hamba memujaMu.
OM ISANAH SARWA WIDYANAM
ISWARAH SARWA BHUTANAM
BRAHMANO’ DHIPATIR BRAHMA
SIVO ASTU SADASIWA
ISWARAH SARWA BHUTANAM
BRAHMANO’ DHIPATIR BRAHMA
SIVO ASTU SADASIWA
Artinya:
Ya Tuhan, Hyang Tunggal Yang Maha Sadar, selaku Yang Maha Kuasa menguasai semua
makhluk hidup. Brahma Maha Tinggi, selaku Siwa dan Sadasiwa.
Untuk
di pura Kahyangan Tiga, ketika memuja di Pura Puseh, mantramnya begini:
OM, GIRIMURTI MAHAWIRYAM
MAHADEWA PRATISTHA LINGGAM
SARWADEWA PRANAMYANAM
SARWA JAGAT PRATISTHANAM
MAHADEWA PRATISTHA LINGGAM
SARWADEWA PRANAMYANAM
SARWA JAGAT PRATISTHANAM
Artinya:
Ya Tuhan, selaku Girimurti Yang Maha Agung, dengan lingga yang jadi stana
Mahadewa, semua dewa-dewa tunduk padaMu.
Untuk memuja di Pura Dalem, masih dalam Kahyangan Tiga:
Untuk memuja di Pura Dalem, masih dalam Kahyangan Tiga:
OM, CATUR DIWJA MAHASAKTI
CATUR ASRAME BHATTARI
SIWA JAGATPATI DEWI
DURGA SARIRA DEWI
CATUR ASRAME BHATTARI
SIWA JAGATPATI DEWI
DURGA SARIRA DEWI
Artinya:
YaTuhan, saktiMu berwujud Catur Dewi, yang dipuja oleh catur asrama, sakti dari
Ciwa, Raja Semesta Alam, dalam wujud Dewi Durga. Ya, Catur Dewi, hamba
menyembah ke bawah kakiMu, bebaskan hamba dari segala bencana.
OM BRAHMA PRAJAPATIH SRESTHAH
SWAYAMBHUR WARADO GURUH
PADMAYONIS CATUR WAKTRO
BRAHMA SAKALAM UCYATE
SWAYAMBHUR WARADO GURUH
PADMAYONIS CATUR WAKTRO
BRAHMA SAKALAM UCYATE
Artinya:
Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma Prajapati, pencipta semua makhluk, maha
mulia, yang menjadikan diriNya sendiri, pemberi anugerah mahaguru, lahir dari
bunga teratai, memiliki empat wajah dalam satu badan, maha sempurna, penuh
rahasia, Hyang Brahma Maha Agung.
OM BRAHMA WISNU ISWARA DEWAM
TRIPURUSA SUDDHATMAKAM
TRIDEWA TRIMURTI LOKAM
SARWA WIGHNA WINASANAM
TRIPURUSA SUDDHATMAKAM
TRIDEWA TRIMURTI LOKAM
SARWA WIGHNA WINASANAM
Artinya:
Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa MahaSuci,
Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.
Untuk di Pura Segara atau di tepi pantai, mantramnya:
Untuk di Pura Segara atau di tepi pantai, mantramnya:
OM NAGENDRA KRURA MURTINAM
GAJENDRA MATSYA WAKTRANAM
BARUNA DEWA MASARIRAM
SARWA JAGAT SUDDHATMAKAM
GAJENDRA MATSYA WAKTRANAM
BARUNA DEWA MASARIRAM
SARWA JAGAT SUDDHATMAKAM
Artinya:
Ya Tuhan, wujudMu menakutkan sebagai raja para naga, raja gagah yang bermoncong
ikan, Engkau adalah Dewa Baruna yang maha suci, meresapi dunia dengan kesucian
jiwa, hamba memujaMu.
OM SRIDHANA DEWIKA RAMYA
SARWA RUPAWATI TATHA
SARWA JÑANA MANISCAIWA
SRI SRIDEWI NAMO’STUTE
SARWA RUPAWATI TATHA
SARWA JÑANA MANISCAIWA
SRI SRIDEWI NAMO’STUTE
Artinya:
Ya Tuhan, Engkau hamba puja sebagai Dewi Sri yang maha cantik, dewi dari
kekayaan yang memiliki segala keindahan. la adalah benih yang maha mengetahui.
Ya Tuhan Maha Agung Dewi Sri, hamba memujaMu.
Untuk bersembahyang pada hari Saraswati, atau tatkala memuja Hyang Saraswati. Mantramnya:
Untuk bersembahyang pada hari Saraswati, atau tatkala memuja Hyang Saraswati. Mantramnya:
OM SARASWATI NAMAS TUBHYAM
WARADE KAMA RUPINI
SIDDHARAMBHAM KARISYAMI
SIDDHIR BHAWANTU ME SADA
WARADE KAMA RUPINI
SIDDHARAMBHAM KARISYAMI
SIDDHIR BHAWANTU ME SADA
Artinya:
Ya Tuhan dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, pemberi berkah, terwujud dalam
bentuk yang sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan
selalu sukses atas waranugraha-Mu.
Untuk
bersembahyang di pemujaan para Rsi Agung seperti Danghyang
Dwijendra, Danghyang Astapaka, Mpu Agnijaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan dan
lainnya, gunakan mantram ini:
OM DWIJENDRA PURVANAM SIWAM
BRAHMANAM PURWATISTHANAM
SARWA DEWA MA SARIRAM
SURYA NISAKARAM DEWAM
BRAHMANAM PURWATISTHANAM
SARWA DEWA MA SARIRAM
SURYA NISAKARAM DEWAM
Artinya:
Ya, Tuhan dalam wujudMu sebagai Siwa, raja dari sekalian pandita, la adalah
Brahma, berdiri tegak paling depan, la yang menyatu dalam semua dewata. la yang
meliputi dan memenuhi matahari dan bulan, kami memuja Siwa para pandita agung.
Demikianlah
beberapa mantram yang dipakai untuk bersembahyang pada tempat-tempat tertentu.
Sekali lagi, mantram ini menggantikan “mantram umum” pada saat menyembah kepada
Istadewata, yakni sembahyang urutan ketiga pada Panca Sembah.
Terakhir,
ini sembahyang ke hadapan Hyang Ganapati (Ganesha), namun
dalam kaitan upacara mecaru (rsigana), atau memuja di Sanggah Natah atau
Tunggun Karang, tak ada kaitannya dengan Panca Sembah:
OM GANAPATI RSI PUTRAM
BHUKTYANTU WEDA TARPANAM
BHUKTYANTAU JAGAT TRILOKAM
SUDDHA PURNA SARIRINAM
BHUKTYANTU WEDA TARPANAM
BHUKTYANTAU JAGAT TRILOKAM
SUDDHA PURNA SARIRINAM
Demikianlah
mantram untuk Istadewata.
3. TIRTA
Tirtha adalah air suci,
yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu. Pada
umumnya tirtha itu diperoleh
melalui dua cara, yaitu:
1. Dengan cara memohon di hadapan
palinggih Ida Bhatara melalui upacara tertentu.
Tirtha yang diperoleh dengan cara
ini pada umumnya disebut orang tirtha wangsuh
pada atau banyun
cokor
2. Dengan cara membuat (ngareka)
yang dilakukan dengan mengucapkan puja-mantra
tertentu, oleh beliau yang
memiliki wewenang untuk itu. Tirtha yang diperoleh
dengan cara ini antara lain adalah:
tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirtha
durmanggala dan sebagainya,
dan juga tirtha-tirtha untuk pamuput upacara yadnya,
seperti tirtha pangentas,
tirtha panembak dan sebagainya.
Adapun tirtha yang digunakan
setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada
Ida Bhatara. Tirtha ini
dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini
dimaksudkan agar pikiran dan hati
orang menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari segala
kekotoran, noda dan dosa,
kecemaran dan sejenisnya. Kebersihan dan kesucian hati
adalah pangkal ketenangan,
kedamaian dan kebahagiaan lahir bathin.
4. BIJA ATAU
WIJA
Mawija atau mabija dilakukan
setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir
dan suatu upacara
persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan
air bersih atau air cendana.
Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL)
sehingga berwarna kuning, maka
disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan
beras galih yaitu beras
yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara,
yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan
Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam
dalam diri setiap orang. Mawija
mengandung makna menumbuh- kembangkan benih keSiwa-
an itu dalam diri
orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila
ladangnya bersih dan suci, maka
itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat
kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivisampat
dan Asuri-sampat. Menumbuh-
kembangkan benih ke-Siwa-an berarti
menumbuhkembangkan sifat
kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan.
Kedua sifat itu bersemayam dalam
pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan
berkembangnya sifat kedewataan
atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati
manusia maka tempat memuja itu
yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari
hati itu sendiri, masing-masing
dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening
dan dengan menelannya. Patut pula
diingat bahwa wija di samping sebagai lambang
Kumara, juga sebagai sarana
persembahan.
Agaknya perlu juga dikemukakan di
sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma.
Kadangkala antara wija/bija dan
bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras
sedangkan bhasma terbuat dari
serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh
dengan menggosok-gosokkan kayu
cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau
dulang dari tanah liat. Kemudian
hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan
bhasma. Kata bhasma
sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas"
dalam
kata bhasma tidak sama
dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena
kata Bhasma adalah kata
dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau
wija umumnya dipakai
oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma
hanya dipakai oleh Sulinggih yang
berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan
artinya dengan kata Walaka dan
Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah
lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu
Sulinggih bersangkutan menjadikan
dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai
sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).